Generasi pertama kuliah dalam keluarga, yaitu orang pertama yang melanjutkan pendidikan ke jenjang universitas dalam keluarga besarnya (atau keluarga kamu maksimal tamatan SMA) dan hanya kamu yang sampai Sarjana bisa jadi terkena imposter snydrome.
Usaha dan kerja keras telah diupayakan oleh berbagai macam lembaga pendidikan untuk mendorong siswa-siswa dunia mengambil kurikulum subjek STEAM (Science, Technology, Engineering, Art, Mathematics). Telah ada peran yang signifikan untuk mengait lebih banyak grup ke dalam pelajaran-pelajaran yang mengubah dunia, yaitu wanita, etnis asia dan ras hitam, grup-grup minoritas untuk dapat menjadi agen perubahan.
Namun, studi terbaru menunjukkan bahwa, dalam sistem kompetitif STEAM atau kalau di Indonesia sekarang kurikulumnya K-13 Revisi mungkin saja menjadi efek domino pada kepercayaan diri tiap-tiap murid. Contohnya pada kasus ini, generasi pertama yang masuk ke lini perguruan tinggi universitas (mereka yang pertama kali masuk universitas dalam keluarganya). Siswa yang merupakan generasi pertama tersebut dapat saja mengalami Imposter Syndrome.
Sindrom Imposter adalah keadaan dimana mereka merasa bahwa mereka tidak mempunyai skill atau intelijensi untuk melanjutkan studi mereka karena atmosfer kompetisi yang fluktuatif. Artinya, mereka merasa diri mereka tidak berguna untuk melanjutkan perguruan tinggi karena tak ada dukungan.
Pada kondisi seperti ini, riset sebelumnya telah menunjukkan, bahwa siswa cenderung untuk membandingkan dirinya kepada orang lain–sering dialami oleh penderita sindrom imposter. Ketika kita merasa bahwa teman sebaya mempunyai impact yang lebih besar pada masyarakat, kita merasa diri tidak berguna, ketika banyak yang sudah lulus, lebih merasa tidak berguna lagi.
Hal tersebut kemudian menyebabkan tingkat kepercayaan diri para generasi pertama tersebut turun. Mereka tidak lagi mau berkompetisi karena tidak kuat, ya karena secara dari dukungan emosional saja mereka kurang. Misalnya, kalau orang tua bergelar Doktor, pasti ketika anaknya mengalami kesusahan (banyak tugas), oleh orang tua akan dinasihati, “gapapa, nak, hal itu normal kok.” Hal ini dapat menambah kepercayaan diri mereka, namun sayangnya mereka adalah generasi pertama.
Untuk dapat melihat tingkat persaingan pada generasi pertama yang masuk universitas dalam keluarganya, para peneliti memasukkan data sampel 818 freshmen atau tahun pertama studi uni di Universitas AS. Partisipan kemudian ditanyakan untuk menyelesaikan survei, pertama ketika semester masuk dan kedua setelah ujian.
Ketika enam minggu menuju ujian, para siswa kemudian ditanyakan untuk mengikuti survei harian, menanyakan apakah mereka rajin masuk kelas. Mereka yang masuk kelas ditanyakan untuk eksplor perasaan imposter.
Baca juga: Indikator Tolak Ukur Kemajuan Bangsa Indonesia
Seperti yang diduga, banyak di antara mereka merasakan bahwa, “dalam kelas, aku merasa tidak bisa apa-apa, tak punya kapabilitas.” Mereka kurang lebih tak bisa bersaing akibat menderita imposter syndrome ini.
Dengan meningkatkan perasaan tak bergunanyam, perspektif siswa-siswa tersebut di dalam kelas juga akan mempunyai impact yang buruk.
Kemungkinan hal ini juga karena tekanan dari teman, tekanan dari keluarga, tekanan dari kurikulum itu sendiri. Tapi, kita memang tidak pernah tahu, jangan pernah merasakan bahwa diri kita tidak berguna dan malah berujung stres hingga bunuh diri. Pasti ada kok lingkungan yang suportif untuk kamu, coba diskusikan dengan keluarga lebih dalam.