Brain Drain adalah istilah bagi mereka yang punya keahlian dalam bidang akademis namun memilih berkiprah dan migrasi ke negara lain demi kebaikan hidup, eksposur baru, dan pekerjaan yang layak. Brain drain juga lebih mengerucut pada human capital flight, kepergian orang-orang cerdas ke luar negeri untuk selamanya.
Fenomena brain drain sering terjadi di negara Indonesia, terutama bagi mereka yang punya skill akademik yang cukup tinggi—biasanya mereka yang memenangkan olimpiade dan ditawarkan beasiswa full ke negara asing.
Brain drain merujuk pada migrasi intelektual. Istilah ini muncul pada akhir 1960-an, dan pertama kali diperkenalkan oleh British Royal Society.
Hal ini tentu mengacu pada mereka yang sudah profesional dalam bidang ilmu pengetahuan namun memilih berkarya di negara orang dengan tujuan peluang karier, ketidakstabilan politik di negara asalnya, kualitas hidup yang terjamin, dll.
Migrasi kaum intelektual terjadi hampir di semua negara dan didominasi oleh mereka yang berasal dari negara berkembang atau negara miskin. Contohnya, Negara Albania pada tahun 2005 memiliki 25 persen penduduk yang berada di luar negeri.
Selain dari itu, brain drain juga terjadi di negara-negara berkonflik seperti banyaknya migrasi ilmuwan Yugoslavia pada akhir tahun 1990an.
Bagi Indonesia, fenomena brain drain diperkirakan mulai terjadi sejak 1980, perkembangannya meningkat di 1990an ketika Habibie mengirim remaja-remaja potensial ke luar negeri.[1]
Kemudian hal ini diperparah ketika krisis 1998, banyak dari mereka yang sudah bekerja atau berkuliah di luar negeri memilih untuk tetap tinggal di negara tersebut dan tidak ingin balik lagi ke Indonesia.
Baca juga: Tahanan di China dipaksa donor organ demi keuntungan negara.
Contoh dari fenomena brain drain di Indonesia terjadi pada SDM (Sumber Daya Manusia) di Badan Pengelola Industri Strategis dimana mereka disebar ke luar negeri untuk mempelajari ilmu pesawat terbang, ilmu kedokteran, ahli pemetaan, ahli satelit, dan ahli telekomunikasi.
Masalah terjadi ketika Indonesia merestrukturisasi Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS) atas perintah IMF pada 1998, sehingga mereka yang sudah ada di luar negeri menjadi menganggur tanpa perhatian pemerintah, kemudian memutuskan untuk keluar dari ikatan kontrak BPIS ketika krisis 1998.
Banyaknya tenaga ahli dan pelajar Indonesia yang pindah ke luar negara tentu membawa dampak yang negatif bagi Republik Indonesia karena kita kehilangan Sumber Daya Manusia yang kompeten.
Karena itu, negara yang sedang melangkah maju seperti Malaysia dan Korea Selatan justru melarang ilmuwannya untuk bekerja di luar negeri. Untuk itu, pemerintahannya membangun fasilitas yang memadai bagi mereka untuk bekerja.[2]
Kerugian Brain Drain bagi Negara-negara Berkembang dan Miskin
Ada hal unik yang perlu kamu ketahui, dalam studi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperlihatkan bahwa benua afrika kehilangan tenaga trampil sebanyak 60 ribu orang. Jika diakumulasikan, benua afrika mengalami kerugian $12 miliar USD atau setara Rp 184 triliun (konversi 21 april 2020).
Kerugian lainnya adalah sumber daya manusia yang berkualitas terlalu banyak di luar negeri. Sehingga di dalam negeri itu sendiri, kehilangan orang-orang kompeten. Hal ini tentu membuat suatu pembangunan negara terhambat atau bahkan nol.
Begini, jadi ada penelitian yang menyatakan bahwa ketika kamu miskin sewaktu kecil, pendapatanmu (gaji) akan rendah saat dewasa. Jadi, untuk memutus rantai kemiskinan tentu dengan pendidikan dan kebanyakan di Indonesia mereka tidak didukung penuh oleh pemerintah, apresiasi masyarakat pun tidak tanggap.
Keuntungan Brain Drain?
Ada keuntungan bagi para brain drain—mereka yang menetap di luar negeri karena skill akademisnya (skilled migrant)—yaitu mereka akan menambah capital input negara. Hal ini didasari karena mereka pasti akan tetap mengirim uang kepada keluarga yang ada di dalam negeri.
[1]: Tim Puslitbang SDM Dephan, “Konsepsi Pendayagunaan Tenaga Pakar Teknologi Dengan Mengaiasi Brain Drain Untuk Mendukung Pertahanan Negara,” p.1 (hllp://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?vnomor=22&mnorutisi=4, diakses 4 Februari 2011)
[2]: ilmuwan lndonesia di’bajak’ Negara Lain,” (http://www.i-berita.com/internet/ilmuwan-indonesia-dibajak-negara-lain.html, diakses 3 Juni 2011)