Wabah virus corona yang menyebabkan penyakit COVID-19 cukup serius dan fatal bila tidak diobati. Baru ini Hydroxychloroquine dianggap efektif dalam menyembuhkan pasien virus SARS-CoV-2, adakah dampak yang ditimbulkannya?
Ketika World Health Organization menyatakan bahwa COVID-19 menjadi pandemik pada 30 Januari lalu, hal ini tentu menyorot perhatian publik.
Kasus COVID-19 di seluruh dunia sekarang ini sudah melebihi 4.000.000 (empat juta) total kasus yang terlapor, belum lagi kasus yang masih belum terdiagnosa.
Pada laporan dari jurnal yang dipublikasikan di JAMA Cardiology, sebuah tim ahli farmasi dan klinik di Beth Israel Deaconess Medical Center (BIDMC), menemukan bukti bahwa pasien yang mendapatkan pengobatan hydroxychloroquine untuk COVID-19 akan meningkatkan risiko terkena cardiac arrhythmias. Kombinasi hydroxychloroquine dengan azithromycin juga malah lebih meningkatkan risikonya.
Tentu mereka yang sudah positif penyakit COVID-19 harus berhati-hati dan kalau kondisinya parah akan menggunakan ventilator yang berguna membantu pernapasan mereka, karena penyerangan utama virus corona ada di paru-paru.
Bagi mereka yang masih sehat pun jangan pula diabaikan aturan pembatasan sosial berskala besar dan kerja dari rumah #workfromhome. Bisa dengan mencegah virus corona menggunakan masker ketika berpergian ke luar.
“Walau hydroxychloroquine dan azithromycin adalah pengobatan umum pada pasien, penggunaannya dapat meningkatkan adverse drug events (ADE),” kata kolega ketua peneliti Nicholas J. Mercuro, PharmD, ahli farmasi dalam bidang penyakit infeksi di BIDMC. “Hal seperti ini tentu membawakan kekhawatiran karena pasien selain terkena virus yang membahayakan jantungnya, tetapi pengobatannya juga.”
Hydroxychloroquine dan azithromycin dua-duanya dapat menyebabkan disturbansi elektrik ke jantung yang disebut sebagai prolongasi QTc, mengindikasikan ruang yang lebih panjang pada puncak elektrokardiogram. Prolongasi QTc menyatakan bahwa otot jantung berdetak beberapa milisekon lebih cepat dari biasanya. Delay seperti ini dapat menyebabkan cardiac arrhythmias, lalu dapat berkomplikasi menjadi gagal jantung, stroke, atau kematian.
Pada studi ini, Mercuro dan koleganya mengevaluasi 90 orang dewasa dengan penyakit COVID-19 yang dirawat di BIDMC pada periode 1 Maret hingga 7 April 2020 yang menerima dosis hydroxychloroquine paling tidak sehari sekali. Lebih dari setengah pasien mempunyai tekanan darah tinggi, dan 30 persen di antara seluruh pasien juga mempunyai diabetes.
Tujuh pasien yang mendapatkan hydroxychloroquine terkena prolongasi QTc lebih dari 500 milisekon, dan tiga pasien mempunyai charge QTc lebih dari 60 milisekon. Dari 53 pasien yang mendapatkan azithromycin, 21 persen di antaranya mempunyai prolongasi QTc lebih dari 500 milisekon, dan 13 persen mengalami prolongasi lebih dari 60 milisekon.
Untuk sementara memang penggunaan obat ini dilakukan mengingat bahwa vaksin virus corona belum dibuat, jadi harapan umat manusia bagi mereka yang sudah positif adalah obat yang mampu menyembuhkan.
“Dalam studi kami pasien yang dirawat dan mendapatkan pengobatan hydroxychloroquine untuk COVID-19 sering mengalami prolongasi QTc,” kata peneliti Christina F. Yen, MD, dari Departemen Kedokteran BIDMC.
Pada tahun 2003, data sebelumnya menunjukkan bahwa hydroxychloroquine mungkin efektif dalam menangkal SARS-CoV-1, suatu penyakit yang fatal namun transmisinya susah dan tidak begitu masif. Baru-baru ini, studi mengenai pasien yang terkena COVID-19 terlihat ‘manjur’ ketika diberikan obat anti-malaria tersebut.
“Jika mempertimbangkan penggunaan hydroxychloroquine, yang seringkali digunakan berbarengan dengan azithromycin, ahli farmasi harus secara hati-hati menimbang risiko dan manfaat, lalu memonitor QTc pasien.” Kata Howard S. Gold, MD, spesialis penyakit menular di BIDMC, asisten profesor kedokteran di Harvard Medical School.
sumber BIDMC.